Selasa, 26 April 2011

hukum perikatan

1. Pengertian Hukum Perikatan
Perikatan dalam bahasa Belanda disebut“ ver bintenis ”. Istilah perikatan ini lebih umum dipakai dalam literatur hukum di Indonesia. Perikatan dalam hal ini berarti: hal yang mengikat orang yang satu terhadap orang yang lain. Hal yang mengikat itu menurut kenyataannya dapat berupa perbuatan, peristiwa, keadaan.Dengan demikian, perikatan yang terjadi antara orang yang satu dengan yang lain itu disebut hubungan hukum.
Jadi, perikatan adalah hubungan hukum yang terjadi antara dua orang atau lebih, yakni pihak yang berhak atas prestasi dan pihak yang wajib memenuhi prestasi, juga sebaliknya.
Di dalam hukum perikatan, terdapat sistem yang terbuka, dan yang dimaksud dengan sistem terbuka adalah setiap orang dapat mengadakan perikatan yang bersumber pada perjanjian, perjanjian apapun dan bagaimanapun, baik itu yang diatur dengan undang-undang atau tidak, inilah yang disebut dengan kebebasan berkontrak, dengan syarat kebebasan berkontrak harus halal, dan tidak melanggar hukum, sebagaimana yang telah diatur dalam undang-undang.
2. Dasar hukum
Dasar hukum Pasal 1233 KUHPerdata “ tiap-tiap perikatan  dilahirkan karena persetujuan baik karena  UU”. Dasar hukum perikatan berdasarkan KUHPerdata terdapat tiga sumber yaitu :
1.    Perikatan yang timbul dari persetujuan.
2.  Perikatan yang timbul dari undang – undang
3.  Perikatan terjadi bukan perjanjian
3. Asas-asas Hukum Perikatan Nasional
Asas tersebut adalah sebagai berikut:
  1. Asas Kepercayaan
Asas kepercayaan mengandung pengertian bahwa setiap orang yang akan mengadakan perjanjian akan memenuhi setiap prestasi yang diadakan diantara mereka dibelakang hari.
  1. Asas Persamaan Hukum
Asas persamaan hukum mengandung maksud bahwa subjek hukum yang  mengadakan perjanjian mempunyai kedudukan, hak dan kewajiban yang sama dalam hukum. Mereka tidak boleh dibeda-bedakan antara satu sama lainnya, walaupun subjek hukum itu berbeda warna kulit, agama, dan ras.
  1. Asas Kesimbangan
Asas keseimbangan adalah asas yang menghendaki kedua belah pihak memenuhi dan melaksanakan perjanjian. Kreditur mempunyai kekuatan untuk menuntut prestasi dan jika diperlukan dapat menuntut pelunasan prestasi melalui kekayaan debitur, namun debitur memikul pula kewajiban untuk melaksanakan perjanjian itu dengan itikad baik.
  1. Asas Kepastian Hukum
Perjanjian sebagai figur hukum mengandung kepastian hukum. Kepastian ini terungkap dari kekuatan mengikatnya perjanjian, yaitu sebagai undang- undang bagi yang membuatnya.
  1. Asas Moralitas
Asas moral ini terikat dalam perikatan wajar, yaitu suatu perbuatan sukarela dari seseorang tidak dapat menuntut hak baginya untuk menggugat prestasi dari pihak debitur. Hal ini terlihat dalam zaakwarneming, yaitu seseorang melakukan perbuatan dengan sukarela (moral). Yang bersangkutan mempunyai kewajiban hukum untuk meneruskan dan menyelesaikan perbuatannya. Salah satu faktor yang memberikan motivasi pada yang bersangkutan melakukan perbuatan hukum itu adalah didasarkan pada kesusilaan (moral) sebagai panggilan hati nuraninya.
  1. Asas Kepatutan
Asas kepatutan tertuang dalam Pasal 1339 KUHPerdata. Asas ini berkaitan dengan ketentuan mengenai isi perjanjian yang diharuskan oleh kepatutan berdasarkan sifat perjanjiannya.
  1. Asas Kebiasaan
Asas ini dipandang sebagai bagian dari perjanjian. Suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk apa yang secara tegas diatur, akan tetapi juga hal-hal yang menurut kebiasaan lazim diikuti.
  1. Asas Perlindungan
Asas perlindungan mengandung pengertian bahwa antara debitur dan kreditur harus dilindungi oleh hukum. Namun, yang perlu mendapat perlindungan itu adalah pihak debitur karena pihak ini berada pada posisi yang lemah.Asas-asas inilah yang menjadi dasar pijakan dari para pihak dalam menentukan dan membuat suatu kontrak/perjanjian dalam kegiatan hukum sehari-hari. Dengan demikian dapat dipahami bahwa keseluruhanasas diatas merupakan hal penting dan mutlak harus diperhatikan bagi pembuat kontrak/perjanjian sehingga tujuan akhir dari suatu kesepakatan dapat tercapai dan terlaksana sebagaimana diinginkan oleh para pihak.
Jenis – jenis resiko digolongkan menjadi, yaitu :
  1. Resiko dalam perikatan sepihak
  2. Resiko dalam perikatan timbal balik
  3. Resiko dalam jual beli diatur dalam pasal 1460 KUHPerdata
  4. Resiko dalam tukar menukar diatur dalam pasal 1545 KUHPerdata
  5. Resiko dalam sewa menyewa diatur dalam pasal 1553 KUHPerdata
4.         Macam – macam perikatan :
a.  perikatan bersyarat
b.  perikatan yang digantungkan pada suatu ketetapan waktu
c.  perikatan yang membolehkan memilih
d.  perikatan tanggung menanggung
e.  perikatan yang dapat dibagi dan yang tidak dapat dibagi
f.  perikatan tentang penetapan hukuman
5.         Unsur-unsur perikatan
1.      Hubungan hukum ( legal relationship )
2.      Pihak-pihak yaitu 2 atau lebih pihak ( parties )
3.      Harta kekayaan ( patrimonial )
4.      Prestasi ( performance )
5.
6. Sistem Hukum Perikatan
Sistem hukum perikatan adalah terbuka. Artinya, KUHPerdata memberikan kemungkinkan bagi setiap orang mengadakan bentuk perjanjian apapun, baik yang telah diatur dalam undang-undang, peraturan khusus maupun perjanjian baru yang belum ada ketentuannya. Sepanjang tidak bertentangan dengan Pasal 1320 KUHPerdata. Akibat hukumnya adalah,  jika ketentuan bagian umum bertentangan dengan ketentuan khusus, maka yag dipakai adalah ketentuan yang khusus, misal: perjanjian kos-kosan, perjanjian kredit, dll.
Pasal 1320 KUHPerdata mengatur tentang syarat sahnya perjanjian yaitu :
  1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya (tidak ada paksaan, tidak ada keleiruan dan tidak ada penipuan)
  2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan  (dewasa, tidak dibawah pengampu)
  3. Suatu hal tertentu (objeknya jelas, ukuran, bentuk dll)
  4. Suatu sebab yang halal (tidak bertentangan dengan ketertiban, hukum/UU dan kesusilaan)
Bagaimana jika Pasal 1320 KUHPerdata tersebut dilanggar ?
Suatu perjanjian yang mengandung cacat pada subjeknya yaitu syarat : 1). sepakat mereka yang mengikatkan dirinya dan 2) kecakapan untuk bertindak, tidak selalu menjadikan perjanjian tersebut menjadi batal dengan sendirinya (nietig) tetapi seringkali hanya memberikan kemungkinan untuk dibatalkan (vernietigbaar), sedangkan perjanjian yang cacat dalam segi objeknya yaitu : mengenai 3) segi “suatu hal tertentu” atau  4) “suatu sebab yang halal” adalah batal demi hukum.
Artinya adalah jika dalam suatu perjanjian syarat 1 dan 2 dilanggar baru dapat dibatalkan perjanjian tersbeut setelah ada pihak yang merasa dirugikan mengajukan tuntutan permohonan pembatalan ke pengadilan. Dengan demikian perjanjian menjadi tidak sah. Lain hal jika syarat 3 dan 4 yang dilanggar maka otomatis perjanjian tersebut menjadi batal demi hukum walaupun tidak ada pihak yang merasa dirugikan.
Maka dapat disimpulkan suatu perjanjian dapat terjadi pembatalan karena :
  1. Dapat  dibatalkan, karena diminta oleh pihak untuk dibatalkan dengan alas an melanggar syarat 1 dan 2 pasal 1320 KUHPerdata.
  2. Batal demi hukum, karena melanggar syarat 3 dan 4 pasal 1320 KUHPerdata
7. Sifat Hukum Perikatan
  1. Sebagai hukum pelengkap/terbuka, dalam hal ini jika para pihak membuat ketentuan sendiri, maka para pihak dapat mengesampingkan ketentuan dalam undang-undang.
  2. Konsensuil, dalam hal ini dengan tercapainya kata sepakat di antara para pihak, maka perjanjian tersebut telah mengikat.
  3. Obligatoir, dalam hal ini  sebuah perjanjian hanya menimbulkan kewajiban saja, tidak menimbulkan hak milik. Hak milik baru berpindah atau beralih setelah dilakukannya penyerahan atau levering.
8. Pengertian Wanprestasi :
Yaitu prestasi yang tidak dipenuhi, apabila siberhutang tidak melakukan apa yang dijanjikan akan dilakukannya, maka dikatakan bahwa ia melakukan ” wanprestasi ”.
Wanprestasi berasal dari kata Belanda yang berarti ” prestasi buruk” .
Ada 4 bentuk wanprestasi, yaitu:
1.  Debitur tidak memenuhi prestasi sama sekali
2.  Debitur memenuhi prestasi tetapi tidak baik atau ada kekeliruan
3.  Debitur memenuhi prestasi tetapi tidak tepat waktu (terlambat)
4.  Prestasi yang bertentangan dengan apa yang ditentukan dalam perjanjian
9. Akibat-akibat wansprestasi
Akibat-akibat wansprestasi berupa hukuman atau akibat-akibat bagi debitur yang melakukan wansprestasi , dapat digolongkan menjadi tiga kategori, yakni:
1. Membayar Kerugian yang Diderita oleh Kreditur (Ganti Rugi)
Ganti rugi sering diperinci meliputi tinga unsure, yakni
a. Biaya adalah segala pengeluaran atau perongkosan yang nyata-nyata sudah dikeluarkan oleh salah satu pihak;
b. Rugi adalah kerugian karena kerusakan barang-barang kepunyaan kreditor yang diakibat oleh kelalaian si debitor;
c. Bunga adalah kerugian yang berupa kehilangan keuntungan yang sudah dibayangkan atau dihitung oleh kreditor.
2. Pembatalan Perjanjian atau Pemecahan Perjanjian
Di dalam pembatasan tuntutan ganti rugi telah diatur dalam Pasal 1247 dan Pasal 1248 KUH Perdata. Pembatalan perjanjian atau pemecahan perjanjian bertujuan membawa kedua belah pihak kembali pada keadaan sebelum perjanjian diadakan.
3. Peralihan Risiko
Peralihan risiko adalah kewajiban untuk memikul kerugian jika terjadi suatu peristiwa di luar kesalahan salah satu pihak yang menimpa barang dan menjadi obyek perjanjian sesuai dengan Pasal 1237 KUHperdata.
10.              Hapusnya Perikatan :
Pasal 1381 Perikatan Hapus :
Karena pembayaran,karena penawaran pembayaran tunai,diikuti dengan penyimpanan atau penitipan, karena pembaruan utang, karena perjumpaan utang atau kompensasi;
Karena pencampuran utang, karena pembebasan utang, karena musnahnya barang yang terutang, karena kebatalan atau pembatalan;
Perikatan itu bisa hapus jika memenuhi kriteria-kriteria sesuai dengan Pasal 1381 KUHPerdata. Ada 10 (sepuluh) cara penghapusan suatu perikatan adalah sebagai berikut :
a. Pembayaran merupakan setiap pemenuhan perjanjian secara sukarela
b. Penawaran pembayaran tunai diikuti dengan penyimpanan atau penitipan
c. Pembaharuan utang
d. Perjumpaan utang atau kompensasi
e. Percampuran utang
f. Pembebasan utang
g. Musnahnya barang yang terutang
h. Batal/pembatalan
i. Berlakunya suatu syarat batal
j. Lewat waktu

Tidak ada komentar:

Posting Komentar